Puzzle Kehidupan



Aku sedang duduk di tempat tidurku sambil menatap langit-langit kamarku dan memikirkan kehidupanku. Sebenarnya, aku ini termasuk gadis yang beruntung, punya keluarga yang menyanyangiku, teman-teman yang bisa saling berbagi dan pekerjaan tetap tapi pada kenyataannya aku merasa tidak puas dengan hidup ini. Rasanya ada sesuatu yang kurang seperti potongan puzzle yang hilang. Pikiranku melayang pada kejadian yang sudah lama berlalu namun kadang-kadang ingatan itu kembali dan membawa penyesalan buat diriku.
Enam tahun sudah berlalu, dalam kurun waktu itu aku sudah bertemu dengan pria itu dua kali. Aku masih ingat ketika pertama kali bertemu dengan pria itu. Saat itu aku masih duduk di bangku SMA kelas 3, aku menemani papaku ke sebuah resepsi pernikahan. Pesta sudah hampir usai, aku dan papaku memutuskan untuk pulang sebelum acara pesta itu benar-benar usai. Ketika kami berada di luar ruangan resepsi, papa menyuruhku menunggu sebentar karena ada sedikit keperluan. Di depan ruang resepsi itu, ada sebuah pilar yang berdiri tegak di tengah-tengah aula. Pilar itu menghadap ke arah pintu resepsi, sebenarnya jaraknya cukup jauh juga. Aku bersandar di pilar itu dan menatap ke dalam ruang resepsi, salah satu pintunya terbuka jadi aku bisa melihat ke dalam. Beberapa saat aku hanya memandang dan ketika aku mengalihkan pandanganku, mataku bersirobok dengan mata pria itu. Pikiranku langsung kosong, aku sama sekali tidak bisa berpikir dan bergerak seoalah ada sesuatu yang kasat mata yang menahanku. Apa yang bisa kulakukan hanyalah membalas tatapan pria itu. Ketika pria itu bangkit dari tempat duduknya, seketika aku menjadi panik. Tanpa berpikir, aku langsung beranjak dari tempat aku bersandar di pilar itu dan berniat pergi mencari papaku. Kebetulan saat itu, papa sedang menuju menghampiriku. Tanpa pikir panjang, aku langsung menggandeng papaku dan berjalan melewatinya yang saat itu sudah ada di dekat pilar itu. Aku berjalan lurus dan tidak berbalik lagi walaupun aku menyadari tatapan pria itu yang terus mengikutiku.
Dua tahun kemudian, aku bertemu kembali dengannya. Di Fountain, aku bersama dengan teman-temanku dan dia juga bersama dengan seorang temannya. Aku sedang meminum juice-ku sambil melihat sekeliling tempat itu dan akhirnya melihat pria itu. Pikiranku melayang pada kejadian 2 tahun yang lalu padahal dalam kurun waktu itu aku tidak pernah mengingat kembali hal itu. Aku tidak tahu kenapa aku bisa berpikir bahwa pria itu adalah pria yang sama tapi instingku berkata demikian. Namun, ketika kesadaran itu terpatri di benakku, aku mengalihkan pandanganku ke tempat lain dan tidak mau menatapnya. Aku tidak tahu kenapa aku melakukan hal itu tapi pada kenyataanya aku memang bersikap defensif. Aku tahu pria itu terus menatap ke arahku karena kedua temanku mengatakan dengan jelas bahwa pria itu terus menatap ke arah kami namun aku tidak ikut nimbrung dengan mereka. Aku berpura-pura tidak tahu dan aku juga tidak memberitahu mereka. Namun, ketika aku sudah bertekad untuk membalas tatapannya dan menghilangkan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, ternyata pria itu sudah pergi.
Sejak saat itu jika aku teringat kembali, aku selalu merasakan penyesalan. Aku selalu berandai-andai jika saat itu aku tidak lari, jika aku tidak bersikap seolah-olah aku tidak peduli, apa yang akan terjadi. Seandainya waktu bisa berputar kembali, apakah aku tetap akan bersikap seperti itu. Empat tahun kemudian, aku bertanya-tanya apakah hal itu hanya salah satu kebetulan dalam hidup atau akankah takdir mempertemukan kami kembali.


www.wismacinta.com

cinta

Alkisah, di suatu pulau kecil tinggallah berbagai benda abstrak ada CINTA, kesedihan, kegembiraan, kekayaan, kecantikan dan sebagainya. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik dan akan menenggelamkan pulau itu.

Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tidak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air semakin naik membasahi kakinya.

Tak lama CINTA melihat kekayaan sedang mengayuh perahu, �Kekayaan! Kekayaan! Tolong aku!,� teriak CINTA �Aduh! Maaf, CINTA!,� kata kekayaan �Aku tak dapat membawamu serta nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini.� Lalu kekayaan cepat-cepat pergi mengayuh perahunya. CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya kegembiraan lewat dengan perahunya. �Kegembiraan! Tolong aku!,� teriak CINTA. Namun kegembiraan terlalu gembira karena ia menemukan perahu sehingga ia tak dapat mendengar teriakan CINTA. Air semakin tinggi membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik.

Tak lama lewatlah kecantikan �Kecantikan! Bawalah aku bersamamu!,� teriak CINTA �Wah, CINTA kamu basah dan kotor. Aku tak bisa membawamu pergi. Nanti kau mengotori perahuku yang indah ini,� sahut kecantikan. CINTA sedih sekali mendengarnya. Ia mulai menangis terisak-isak. Saat itulah lewat kesedihan �Oh kesedihan, bawlah aku bersamamu!,� kata CINTA. �Maaf CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja..,� kata kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa.

Ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara �CINTA! Mari cepat naik ke perahuku!� CINTA menoleh ke arah suara itu dan cepat-cepat naik ke perahu itu, tepat sebelum air menenggelamkannya. Di pulau terdekat, CINTA turun dan perahu itu langsung pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapa yang menolongnya. CINTA segera bertanya pada penduduk pulau itu. �Yang tadi adalah WAKTU,� kata penduduk itu �Tapi, mengapa ia menyelamatkan aku? Aku tidak mengenalinya. Bahkan teman-temanku yang mengenalku pun enggan menolong� tanya CINTA heran �Sebab��HANYA WAKTULAH YANG TAHU BERAPA NILAI SESUNGGUHNYA DARI CINTA ITU�